Ketika saya naik kelas 3 ibtidaiyyah, adik perempuan saya masuk kelas 1 dan adik perempuan saya yang satunya lagi masuk TK. Uang saku yang tadinya sedikit sejahtera berbalik tidak berdaya. Yang tadinya bisa beli opak singkong dilumuri sambel pecel plus es lilin, sejak saat itu saya jarang jajan es lilin. Bukan karena pilek. Tapi karena uang jajan saya dan kedua adik perempuan saya tidak cukup sejahtera.
Jarak sekolah dari rumah memang tidak terlalu jauh tapi cukup melelahkan bagi anak umur sembilan tahun berjalan bolak balik. Misalnya sekedar untuk makan gorengan sisa pagi atau mentongkarena lapar. Lagi pula tidak perlu pulang kalau hanya untuk minum sebab kantin belakang ruang kepala sekolah menyediakan ceret air minum gratis untuk anak-anak.
Mungkin emak terusik melihat ketiga anaknya sekolah tanpa uang jajan tapi serba repot pula mau menambahkan anggaran. Lalu emak berinisiatif menanam seledri. Saya lupa berapa pot yang ditanam. Yang saya ingat, daun-daun seledri itulah yang mensejahterakan uang jajan saya berikutnya.
Jadi begini:
Pagi hari sebelum berangkat sekolah ibu memetik beberapa tangkai seledri kemudian diikat jadi tiga atau empat ikat. Nanti, sekalian berangkat sekolah, saya mampir ke rumah mbah Kasinah. Saya sering menemani ibu belanja keperluan dapur di sana. Saya dipesani ibu supaya menyerahkan tiga atau empat ikat daun seledri ini. Rupanya mbah Kasinah tahu betul apa yang mesti dilakukan. Ia menerima tiga atau empat ikat daun seledri itu lalu memberi saya uang 100 rupiah.
Begitulah kesejahteraan uang jajan saya tertanggung untuk hari-hari berikutnya.