Berberapa aplikasi media sosial tidak lagi terpasang di telepon genggam saya. Tersisa aplikasi YouTube, WhatsApp, dan Telegram. Aplikasi media sosial itu sudah saya uninstall sejak Agustus yang lalu. Facebook sendiri sudah tidak terpasang lebih lama lagi. Sampai saat ini aplikasi X (a.k.a Twitter) yang masih sering saya buka. Itupun melalui browser.

Aplikasi-aplikasi tersebut saya buang bukanlah tanpa alasan. Intensitas saya untuk scrolling lini masa di media sosial sudah di atas ambang wajar. Barangkali saya menjadi salah satu dari penyumbang rata-rata akses media sosial di Indonesia yang mencapai 3 jam 11 menit perhari yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-9 paling banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Intensitas saya bersosmed tidak hanya menggantikan kebiasaan lama untuk membaca buku atau blogging, bahkan beberapa pun pekerjaan kerap tertunda. Entahlah, bertatap-tatapan dengan layar ‘setan gepeng’ ini menjadikan waktu terasa lebih cepat. Tiba-tiba sudah bel istirahat siang, tiba-tiba sudah masuk waktu asar, tiba-tiba sudah gelap gulita larut malam.

Awalnya saya mengira dengan menyusahkan diri sendiri untuk membuka Twitter melalui browser bakal membuat saya jera. Alih-alih mengharapkan hal tersebut, justru tubuh saya melakukan penyesuaian baru. Membuka Twitter melalui browser sudah sama lincahnya dibandingkan ketika membuka melalui aplikasi.

Perjalanan melawan diri sendiri memang tidak selalu mudah.

Bagaimanapun juga ada perubahan cara pandang dalam diri saya. Pada akhirnya bisa melawan FOMO, lebih fokus pada prioritas, dan tidak tertarik untuk flexing.

Beberapa kali saya pernah mencoba membalas atau mengomentari postingan seseorang tetapi setelah mengetik cukup panjang lantas saya urungkan mengirimkan teks tersebut. Tiba-tiba muncul sekelebat bisikan ‘Ah, tidak usah ikut campur’, ‘Halah, gak penting’ atau ‘Jangan kasih panggung’.

Sebenarnya, melalui aplikasi ataupun browser, beraktifitas di media sosial tetaplah sama saja. Hanya soal alatnya saja yang berbeda untuk bersenang-senang, menikmati hiburan dan informasi yang tak berujung. Keduanya tetap menghasilkan dopamin, memberikan janji palsu terhadap kesenangan, keterhubungan, dan validasi semu dari dunia maya. Kalau mentalitas dan tekad tidak diluruskan maka apapun metode pencegahannya ya akan tetap menemukan jalannya untuk kembali leha-leha.

Leave A Comment