Pada salah satu malam menjelang tidur Cahya menarik tangan saya. Enggan saya menuruti ajakannya tetapi ia terus meminta. Dan akhirnya sayapun bergeming, meninggalkan tuts laptop, dan menuju ke kamar tidur.

“Bawa iPadnya. Bacakan cerita.” Pintanya.

Mau bagaimana lagi, kebiasaan membacakan cerita menjelang tidur ini mesti dirawat. Kalau tidak dibacakan ya Cahya yang baca sendiri. Bisa apa saja, tidak mesti dongeng atau kisah dari  dunia antah berantah.

“Cerita apa?” Tanya saya ragu.

“Itu yang dari gambar gajah.”

Yang dimaksud adalah ikon Let’s Read. Ada ratusan, mungkin ribuan, cerita dalam berbagai bahasa di sana. Tinggal pilih. Bahkan beberapa cerita ada yang disertai dengan audio, atau ikon pelantang untuk mengaktifkan suaranya.

Cahya memang sering nguprek cerita-cerita yang ada di Let’s Read.

“Terserah. Cerita apa aja.” jawabnya ketika saya menawarkan beberapa cerita yang ada di beranda. Dan pilihan itu jatuh pada Boneka Jagung, kisah tentang seorang ayah yang berubah murung karena kakinya diamputasi. 

Di akhir cerita ada dua paragraf pesan moral dari kisah tersebut. Kami menemukan kata diskriminatif dan depresi. Dua kata yang akhirnya menjadi tanya jawab saya dengan Cahya malam itu. Saya mengambil beberapa contoh situasi yang mungkin terjadi di lingkungan sekitar untuk memahami kedua kata tersebut.

Kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali. Terus bertanyalah, Nak. Ayah yang akan jawab. Bukan ChatGPT.



Leave A Comment