Hampir dua kubik Sawal mengumpulkan kayu bakar, menumpuknya di tobong, seberang tungku pembuat gula. Kayu-kayu itu dari gudang yang jaraknya hampir setengah kilo. Sawal lebih senang mencari pelepah kelapa. Kayunya lebih ringan dan mudah untuk membuat api. Tapi pemilik tobong melarang. Pelepah kelapa terlalu ringan, tidak ada arangnya, dan cepat habis terbakar.
Tugas Sawal adalah menyediakan kayu bakar untuk tiga tobong. Masing-masing berjarak ratusan meter. Remaja yang belum lulus SMP itu tidak bisa mengeluh. Ia tidak ingin mati kelaparan. Yang ia tahu hanya mengumpulkan kayu bakar meskipun orang-orang tak ada yang mau mendekatinya. Ia maklum mengapa orang-orang menjauhinya.
Dua pekan lalu saat orang-orang dengan pakaian APD mendatangi rumah kontrakannya lalu membawa ayahnya pergi meninggalkan Sawal sendirian.
Orang-orang hanya bisa menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan ketika petugas itu mengetuk pintu, memberi penjelasan lalu membawanya ke ambulance. Sawal gelisah, ketakutan, dan matanya sembab berair. Orang-orang ingin menolongnya tetapi tak selangkahpun bergeming.
Ketika ambulance itu pamit orang-orang membekap mulutnya. Beberapa memanjatkan doa dan melambaikan tangan. Ada juga yang mendekap anaknya supaya tidak lari keluar pagar. Semua mata menghantar kepergian ambulance itu. Kecuali Rosidi yang penuh iba melihat Sawal menangis sambil bersandar memeluk pintu.
Rosidi mendekati Pak RT, “Bagaimana dengan Sawal, Pak?”
“Dia akan jadi tanggungan kita bersama. Dia sebatang kara di kampung ini.”
Rosidi melihat ke sekeliling. Setiap orang dirasuki kengerian, “Saya tidak yakin.”
“Lantas bagaimana?” Pak RT mengernyitkan dahi.
“Izinkan Sawal tinggal di tobong. Dia bisa membantu di sana.”
Pak RT tersenyum, lega dan berulang kali mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Rosidi. Ia lantas menelpon Bhabinkamtibmas dan petugas puskesmas untuk koordinasi.
Di tobong Syawal menempati bilik kecil untuk isolasi sekaligus bekerja menyambung hidup. Bergelut dengan dingin di tengah malam, di bawah pepohonan kelapa. Saat fajar menyingsing dingin di sekujur tubuhnya berubah menjadi sepi yang menusuk hati.
Pilunya semakin menjadi-jadi ketika Rosidi menghampirinya siang itu.
Dengan gamang Rosidi pergi ke tobong besama tiga orang lainnya. Dua orang petugas puskesmas dan seorang lagi adalah pak RT. Mereka ingin melangkah lebih cepat tapi terhalangi Rosidi yang melangkah lebih pelan.
“Bapak baik-baik saja, kan?”
“Rasanya saya tidak sanggup. Sawal sudah tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Setelah ini entah apa yang akan dia lakukan.”
“Biarkan dia tetap di sini, Pak.” Pak RT memberi saran.
“Ya, kalau dia mau!” Rosidi menghela nafas, ia mengingat kejadian waktu silam, “Saya ketemu mereka berdua di pelabuhan. Mereka terlunta-lunta. Kami mengobrol beberapa hal hingga akhirnya mereka menerima tawaran saya bekerja di kebun kepala ini.”
“Justru karena tidak punya siapa-siapa, di sinilah kesempatan terbesarnya.”
“Mereka sebenarnya ingin mencari saudaranya di tambak. Namun nasib naas menimpa mereka di kapal. Perbekalan mereka dirampas. Tas mereka juga. Padahal semuanya ada di sana.” Rosidi berhenti lalu mengambil ancang-ancang untuk melompati siring kecil yang membelah jalan mereka. “Entahlah, apakah dia akan tetap tinggal atau melanjutkan pencarian.”
Tobong yang mereka tuju mulai tampak di penghujung mata. Terlihat asap kecil merambat pelan berasal dari tungku yang coba dinyalakan Sawal. Berkali-kali ia usap matanya yang pedih disayat asap. Ketika rombongan itu datang mereka disambut dengan air mata.
“Silakan, Pak. Maaf ini, asapnya pedih banget.” Tempat yang dipersilakan untuk mereka hanyalah dipan reot berdebu. Keadaan yang lumrah di setiap tobong. Setelah basa-basi dirasa cukup, Pak RT angkat bicara.
“Begini, dek Sawal. Bapak ini dari rumah sakit. Dia membawa berita yang harus disampaikan.” Raut wajah Sawal berubah, “Setelah berhari-hari bapak mampu bertahan di rumah sakit. Tapi subuh tadi bapak pamit. Bapak pulang. Kami turut sedih dan berduka.”
Tangis pun pecah. Mata Sawal kembali berlinang. Tak ada yang bersuara setelah pak RT. Mereka memandangi Sawal penuh iba. Tak terbayang setelah ini mesti bagaimana. Bapak dari puskesmas kemudian mendekat, mengusap punggungnya sambil berbisik samar, lalu Sawal jatuh dalam pelukan.
Sebulan setelah itu Sawal menemui Rosidi. Tekadnya sudah bulat. Ia akan pergi ke tambak. Barangkali keberadaannya di tobong tinggal seminggu lagi. Ia ingin merampungkan yang masih tersisa.
Hingga pagi itu saat sampai di tobong tak seorang pun di sana. Tungku yang sudah dinyalakan. Asap tipis mengepul di wajan. Tak lama lagi nira itu mendidih. Mengaduk-aduk supaya merata dan tidak mengerak. Sesekali menengok kesana kemari mengharapkan penunggu tobong itu segera datang.
Sawal mengambil kayu tapi tumpukan kayu itu cukup menutupi pandangannya. Ia melangkah. Namun naas, dinglik di depan tungku api menghalangi langkahnya. Sawal gontai dan tak mampu menjaga keseimbangan. Tubuhnya terhempas. Hal buruk pun terjadi. Ia terjatuh mengenai tungku api, nira yang sudah mendidik itu mengombak dan tak seimbang. Lantas tumpah di atas tubuh Sawal yang tak sempat menyelamatkan diri.**