Berulang kali kita diingatkan. Bulan puasa adalah bulan yang baik bagi kita untuk melatih diri mencintai Alquran. Demi menyemarakkan Ramadan, ada di antara kita, dengan jiwa penuh tawadlu’ dan taat, berduyun-duyun bergelut penuh mesra mentilawahi Alquran. Namun, tak sedikit pula yang tetap lalai—seperti bulan-bulan laiinya, tetap semangat mengejar duniawi, enggan menggunakan momentum untuk istirahat sejenak guna memperbaiki diri.

Padahal ada banyak alasan mengapa kita, hamba Allah yang meyakini kerasulan Muhammad Saw., untuk tidak menjaga jarak dari Alquran. Barangkali beberapa hal berikut ini bisa menjadi alasan bagi kita untuk mencintai Alquran.

Alquran sebagai Kitab Suci

Tentu saja sulit dibayangkan bagaimana orang beragama tetapi meninggalkan kitab suci agamanya. Padahal di dalamnya terkandung ajaran dan nilai-nilai yang harus mengejawantah dalam perilaku para pemeluknya. Sebuah negera memeliki undang-undang dasar, sebuah organisasi memiliki AD/ART, dan agama memiliki kitab suci.

Alquran mengandung ajaran tentang tatanan hidup yang mencakup multi-kehidupan. Ia tak hanya berbicara tentang ubudiyah semata. Ia juga mengatur tatanan kehidupan sosial, yurisprudensi, doktrin, dan lain sebagainya.

Menurut Joe W. Bradford bahwa ke-6236 ayat Alquran, 22% mengandung ajaran tentang keimanan, 14% tentang kehidupan sosial, dan 13% tentang karakter (akhlak). Sedangkan tentang jihad, Alquran tidak banyak berbicara tentangnya, 0.417% saja.

Rasulullah Menerima Wahyu dengan Susah Payah

Jibril menyampaikan wahyu kepada Rasulullah dalam berbagai cara. Ada kalanya datang penuh dengan ketenangan dan kesejukan. Ada kalanya pula datang dengan suara gemerincing atau gemuruh yang menakutkan. Bahkan, dalam salah satu penerimaan wahyu, Rasulullah sampai jatuh pingsan.

Proses kodifikasi Alquran pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan pun melalui jalan berliku. Tidak mudah. Terjadi pertentangan yang dapat memicu perpecahan. Walau akhirnya Zaid bin Tsabit bersama tim menyelesaikan proses kodifikasi ini.

Tak cukup sampai di sini. Ketika Islam menyebar ke penjuru jazirah arab hingga menyebrang Asia jauh dan berinteraksi dengan orang non-Arab, banyak umat islam yang tidak dapat membaca Alquran. Karena pada saat itu, Alquran belum dibubuhi syakl dan harokat. Hingga kemudian hari, abu Aswad ad-Duali memulai ijtihadnya hingga kita mengenal istilah titik pada huruf kho, syin, dzal, dan lainnya. Ijtihad Abu Aswad pulalah kita mengenal harokat fathah, kasroh dan dlommah.

Nah, sekarang, Alquran dicetak dengan berbagai atribut untuk memudahkan dibaca. Ada yang dicetak perkata dengan arti di bawahnya. Ada yang beri hasyiah berisikan tafsir muyassar. Ada yang beri warna untuk mengenali bacaan tajwid, dan lain sebagainya.

Melihat proses dan bentuk cetak Alquran guna memudahkan dan menarik umat Islam mempelajari Alquran, rasanya tak tega jauh-jauh dari Alquran. Sekarang tinggal kita yang memiliki kemauan untuk membaca Alquran atau justru lebih tertarik pada telepon genggam. FYI: perubahan dan versi cetak Alquran selalu tersertifikasi dan terstandarisasi bahwa tidak ada perubahan ayat-ayat Alquran.

Kelak Alquran akan menjadi penolong

Di dalam kitab Riyadlus Sholihin bab Fadilah membaca Alquran diceritakan dari Abi Umamah bahwa kelak Alquran akan datang sebagai juru penolong para pembacanya. Karena kita tidak bisa mengandalkan amal ibadah kita. Karena kita tidak tahu amal mana yang diterima Allah Taala. Apalagi mengingat kondisi kita saat ini, di mana-mana terdapat potensi bermaksiat.

Maka, kita bisa depe-depe, mendekat kepada Alquran dengan harapan ia akan mendatangi kita sebagai juru penyelamat. Mengapa ia mendatangi kita? Karena kita, semasa bernafas seperti sekarang ini, senang mencengkramai Alquran. Huruf demi huruf, ayat demi ayat, surat demi surat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa syafa’at bisa datang dari berbagai sisi. Orangtua kepada anaknya atau anak kepada orangtuanya. Guru kepada muridnya atau murid kepada gurunya. Tetapi sebaik-baik syafaat tentu saja syafaat yang datang dari Rasulullah dan Alquran.

Di kitab yang sama diceritakan juga dari Abu Musa Al-Asy’ari. Ibarat orang mukmin yang mau membaca Alquran adalah seperti buah limau. Baunya harum dan rasanya juga enak. Barangkali ini seperti pepatah Melayu “Seperti limau masak seulas”. Tentu saja, seorang mukmin yang gemar membaca Alquran akan lebih menonjol dan unggul dari mukmin lainnya.

Tapi ada pula seorang mukmin yang enggan membaca Alquran. Dalam hadits tersebut diumpakan dengan kurma. Siapa yang belum pernah makan kurma? Rasa khas dan manis, sayangnya kurma tidak punya aroma semerbak. Tapi, meskipun tidak punya daya tarik bagi indra penciuman, kurma tetap mengandung manfaat yang luar biasa. Begitu pula seorang mukmin yang tidak membaca Alquran, tetap saja perannya dalam masyarakat menjadi penting.

Untuk “penyeimbang”. Ada juga seorang munafiq yang mau membaca Alquran. Orang seperti ini diibaratkan seperti raihanah, baunya harum semerbak tapi jangan coba-coba dicicipi karena rasanya duh pahit sekali. Lah, bagaimana tidak pahit? Di kehidupan sehari ia tampak baik dan religios tapi untuk menolong sesamanya enggan bukan main. Mulutnya culas mengadu domba dengan muslihat dan kebohongannya. Pahit bukan?!

Lebih pahit lagi seorang hipokrit yang enggan membaca Alquran. Ia ibarat handzolah (sejenis labu) yang tidak ada bau wangi sama sekali tapi rasanya pahit bukan main. Bagaimana tidak? Ada orang bermulut culas, nylekit, mengumbar kebohongan, suka berkhianat, kepada kegiatan keagamaan isinya nyinyir melulu, kepada kegiatan masjid dengkinya tidak ketulungan.

Tapi perlu diingat penyematan gelar munafik bukanlah hak kita sebagai hamba. Kita hanya diberitahu kriterianya supaya kita waspada. Tak hanya waspada pada orang yang memiliki kriteria tersebut, terlebih penting lagi supaya kita waspada untuk tidak dekat-dekat dengan karakter munafik.

Jadi, sekali lagi, jangan tuduh-tuduh orang lain munafik ya. Sebaliknya, jaga diri supaya tidak tersemat sifat munafik pada diri kita.

Ramadan memang tinggal beberapa hari lagi. Masih ada waktu untuk melatih diri. Setidaknya melatih diri mencintai kitab suci. Jangan sampai penyesalan datang di hari lerabaran. Wassalam.

Komentar Anda