By |Published On: December 2nd, 2018|0 Comments on Ikhtiyat/Menjaga Najis|Views: 718|

Saya keluar ruang IT. Bersebrangan dengan pintu kamar mandi siswa. Sekilah saya lihat ada yang masuk terburu-buru ke kamar mandi. Tidak pakai sendal. Saya menunggu di depan pintu tapi siswa yang saya tunggu tak kunjung keluar. Menunggu terlalu lama, dan tidak wajar dia di kamar mandi selama itu, akhirnya saya meminta seorang siswa untuk mengajaknya keluar.

Di keluar kamar mandi. Sedikit menunduk. Takut tapi tidak menyesal. Saya menasehati supaya lain kali memakai sandal ketika ke kamar mandi.

"Kamar mandi kan tempatnya najis. Kamu masuk kamar mandi pakai kaos kaki tapi tidak pakai sandal."

Saya mendengar alasan. Saya muntab. Membentak dan menghentakkan kaki ke lantai. Siswa saya keder. saya marah karena alasannya yang dibuat-buat.

"Lepas kaos kaki dan jangan dipakai lagi! Ambil sandal terus cuci kaki!"

Dengan langkah gontai dan malas dia mengambil sandal di loker depan kelasnya. Di samping ruang IT. Di dekat saya berdiri.

Cerita lain di tempat lain. (Editted. Sensor aja.)

Ada kisah lain yang serupa. Meskipun tak sama. Hanya topiknya saja yang sama: ikhtiyath dari najis.

Dua alasan saya menulis tentang ini. Pertama, ini adalah majlis taklim, sekolah, di mana di atasnya para malaikat memayungi para pelajar yang menuntut ilmu dan kedua, karena majlis taklim adalah tempat yang mulis maka jangankan dari setetes najis, kotoran sampah yang tak mengadung najis pun jauh-jauh disingkirkan.

Beberapa kali saya menggantikan guru menyimak murojaah hafalan. Ada yang berat menghafal. Berat sekali. Hingga sering menimbulkan tanya mengapa mereka susah menghafal. Sekarang hafal besok lupa.

Kita pernah mendengar kisah Imam Syafii yang mengeluhkan kepada gurunya tentang hafalannya yang hilang. Lalu dijawablah tentang maksiat yang menjadi penghalang cahaya Allah nempel di hati. Astaghfirullah.

Tapi kemudian saya terhentak, teringat satu hal tentang adab terhadap Alquran. Bukankah kita diajarkan ketika membaca atau membawa Alquran supaya meletakkan Alquran di dada (di atas pusar), memegang dan membawanya dalam keadaan suci dari hadats, menutup aurat, menghadap qilbat, membacanya dengan suara yang bagus dan khusyu, dan baik tata tajwidnya.

Sehingga saya pun menyimpul-nyimpulkan sendiri bahwa kesulitan mereka menghafal Alquran ini sebab kelas terpapar kotor dan najis yang hinggap saat buang hajat di kamar mandi. Sebab satu orang tahu, bukannya menegur, malah di lain waktu melakukan hal yang sama. Sebab secara perlahan, tahu tapi tak menahu, semakin banyak yang melakukan. Sebab kita melakukan hal yang paling buruk dilakukan oleh orang yang berilmu: suul adab.

Tentu saja kita butuh waktu dan energi bersama untuk bergotong royong. Memang seharusnya begitu dalam pendidikan. Bukan pekerjaan satu orang saja. Bukan one man show. Seyogyanya saling menegur dengan lembut dan ikhlas, bukan dengan amarah seperti yang saya lakukan. Memberi contoh secara istiqomah di dalam dan di luar sekolah.

Apa yang dapat kita lakukan? Tentu saja banyak sekali. Kita bisa mulai dengan menjaga ruang-ruang belajar kita dari kotoran dan sampah makanan. Meskipun secara fikih tidak najis tapi kelas jadi tak elok kalau sampah berserakan di sana-sini. Terasa berat dan sulit untuk melarang anak-anak tidak jajan dan makan di kelas maka didiklah dengan perilaku luhur: membuang sampah di kotak sampah.

Saya tidak setuju dengan tulisan besar berbunyi "BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA" yang justru mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut berprilaku sebaliknya. Kita bisa memberi contoh sekaligus menegur. Perlahan-lahan. Karena memang begitu pendidikan. Ia tidak instan seperti laju teknologi.

Dan tak kalah pentingnya adalah ikhtiyat (menjaga) lingkungan belajar dari najis. Tak hanya ruang-ruang kelas tapi sampai halaman kelas dan sekolah. Biarlah yang najis-najis itu tetap bersemayam di tempatnya: di kamar mandi. Saya senang sekali, bersyukur dan berterimakasih, akhirnya kamar mandi putra direnovasi. Tidak ada lagi toilet urinal di sekolah. Kebanyakan wc jongkok. Ada beberapa yang wc duduk.

Terakhir, saya ingin bercerita.

Semasa kuliah, saya kerap silaturrahim ke saudara yang mondok di Lirboyo. Dari semua kekhasan pondok pesantren, ada satu yang sangat membedakannya dari pondok lainnya. Gundukan-gundukan kecil, (bhs jawa: pancatan) yang menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya.

Area Ponpes Lirboyo memang luas sekali. Kamar mandi, kantin, asrama, ruang kelas, masing-masing terpisah satu sama lain. Lalu, untuk menghubungkannya dibuatlah pancatan yang jumlahnya barangkali ribuan. Para santri bisa ke sana kemari tanpa merisaukan kehilangan sandal karena memang tak perlu sandal.

Mereka yang pakai sandal tak berani naik ke pancatan itu. Mereka yang tak pakai sandal tak berani turun dari pancatan itu. Sebab, masing-masing tahu, pancatan itu adalah cara ikhtiyath mereka menjaga najis.

Komentar Anda