Sapar mulai kehabisan akal mengatasi kebutuhan anaknya yang akan menghadapi ujian kelulusan beberapa bulan lagi. Meskipun tulang belulangnya telah remuk dibanting, keringatnya pun hampir habis diperas, tetap saja ada tambahan yang mesti ia keluarkan untuk anaknya. Ia sendiri telah menyunat banyak kebutuhan pribadinya demi anaknya.
Sebulan lalu, anak gadisnya, Fitri, mengaduh karena tidak mampu mengikuti pelajaran yang diprioritaskan sekolah untuk persiapan ujian nasional. Ia meminta supaya didaftarkan di bimbingan belajar.
Sapar meyakinkan anak perempuannya supaya belajar mandiri saja di rumah. Toh, pelajaran-pelajaran yang akan diujikan itu masih bisa dikuasainya. Apa lagi, sebagai sales buku pelajaran, ia bisa mendapatkan referensi yang lebih banyak dari teman sekelasnya. Namun melihat rapot bayangan yang ia terima kekhawatirannya pun tumbuh. Jadilah Fitri mendaftar.
Entah memang tulus ingin meningkatkan kemampuan peserta didik atau sekedar menjalankan trik untuk menghisap kekayaan orang tua, bimbingan belajar itu membujuk Sapar supaya anaknya diletakkan di kelas akselarasi demi kebaikannya. Karena progress yang diterima dalam waktu sebulan ini tidak menunjukkan hasil signifikan.
Menjelang pelaksanaan ujian kelulusan, sekolah tidak tinggal diam. Sekolah yang semestinya selesai jam dua diperpanjang satu jam setengah untuk persiapan. Mulai dari pembahasan bank soal, try out, trik menjawab soal, dan percepatan lainnya.
Dan semua bukan berarti tanpa biaya. Ia harus mengatur sedemikian rupa supaya tidak ada pembengkakan, menyisisihkan seberapapun untuk dijadikan cadangan.
Sapar semakin merasakan berat di kepalanya setelah melihat hasil USG isterinya. Ada dua denyut jantung dalam janin isterinya. Memang berita calon anak kembarnya membuat semua keluarga bahagia. Apa lagi isterinya.
* * *
Buku yang berserakan di atas meja sudah dirapikan kembali. Beberapa ditata berderet dengan buku cetak lainnya di rak buku. Sisanya dimasukkan ke dalam tas rangsel. Ketika jam menunjukkan pukul enam kurang seperempat, gadis kecil berseragam biru putih itu akan mengambilnya sambil berlari menuju ke sekolah.
Tidak hanya gadis manis itu yang sibuk menata buku. Sapar yang kehilangan pandangannya saat anak gadisnya memasuki gang pun sibuk membenahi buku yang tergeletak di lantai. Buku-buku disusun berdasarkan katalog yang ia buat sendiri, lalu diangkat dan ditata di mobil box yang ia beli melalui kredit.
Dengan modal minim hasil pinjaman dari mertuanya, ia memodifikasi mobil itu. Di sisi kanannya dirombak dipasang jendela berteralis. Ia juga menambah payung lipat supaya orang yang ingin membeli atau menyewa buku tidak tersengat matahari.
Sapar hanyalah penjual buku keliling sekaligus menyewakan buku bagi mereka yang tidak ingin membeli. Di perkampungan, komplek perumahan, sekolah. Berangkat dari rumah setelah semua pekerjaan rumah selesai. Dari sanalah ia mengais rejeki hajat isterinya.
* * *
Hujan terus mengguyur dalam beberapa hari ini. Ada pertaruhan besar bagi Sapar seandainya ia memaksakan diri untuk berkeliling. Buku-buku yang ia jajakkan akan rusak oleh air hujan. Tapi seandainya ia tidak berkeliling ia pun akan merasakan sama ruginya, karena buku-buku yang seharusnya sudah jatuh tempo akan semakin molor.
Untunglah ketika waktu dhuha hampir habis, ada semburat mentari dari langit.