Sekian banyak orang menyisihkan anggaran untuk membeli buku sebagai bentuk aktualisasi diri dan memperkaya literasi. Menyisihkan gaji untuk menambah beberapa koleksi judul buku. Berderet di lemari.
Rasanya bersyukur sekali saya dapat memiliki beberapa judul buku yang secara rutin dibeli tiap bulan. Terasa ada yang kurang kalau tidak ada tambahan bacaan. Walau tidak banyak, walau hanya satu judul, saya mendorong diri saya sendiri untuk menyisihkan uang jajan. Hingga akhirnya mereka berdua hadir. Anak saya, Syakira dan Abida. Berkah lain yang memaksa saya membeli buku bukan untuk keinginan pribadi lagi. Tetapi untuk mereka. Sebab mereka yang masih balita itu yang lebih membutuhkan. Saya punya satu alasan. Membangun literasi anak harus dimulai sejak dini.
Menurut KBBI, kata literasi bermakna (1) kemampuan menulis atau membaca. (2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu. (3) kemampuan individu dalam mengelola informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Artinya kegiatan literasi tidak melulu tentang buku atau tulis menulis. Kecakapan seseorang menyaring informasi, menarik kesimpulan, dan mengambil sikap atas isu tersebut pun merupakan bagian dari kegiatan literasi. Aktifitas literasi seperti ini dapat mengikis peredaran berita bohong (hoax) yang berseliweran di sekitar kita.
Kesadaran pendidikan di usia dini semakin merebak di berbagai kalangan masyarakat. Dan ini bagus untuk meningkatan indeks literasi pada anak usia dini. Indikasi kesadaran itu bisa kita lihat dari berbagai seminar parenting yang terselenggara akhir-akhir ini, variasi buku untuk batita/balita yang semakin beragam, dan lain sebagainya. Perlahan kita mulai beranjak dari budaya ‘menyerahkan pendidikan seutuhnya’ kepada lembaga/institusi pendidikan. Tidak lagi serah bongkokan. Orangtua dan institusi pendidikan untuk anak-anak (TPA, PAUD/TK, dan SD/MI) bersama-sama sebagai partner dalam mendidik anak. Baik orangtua maupun sekolah bersama-sama menjalankan pendidikan yang berkesinambungan, bersinergi, dan terpadu.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk aktif menjadi bagian dari membudayakan literasi dalam keluarga? Saya ingin berbagi 4 cara yang dapat kita lakukan untuk membangun #LiterasiKeluarga.
Komitmen Mengedukasi Buah Hati
Peran dan kerjasama kita sebagai orangtua sangat penting untuk membangun literasi di keluarga. Ayah dan bunda saling membahu. Berperan yang selaras dan seimbang. Menghindari peran antagonis dan protagonis supaya tidak memuncul kebingungan di benak anak, perasaan berat sebelah atau pilih kasih. Tekad tersebut dapat dimulai dari membangun komitmen.
Edukasi dalam keluarga adalah tugas kita bersama sebagai ayah dan bunda. Membangun komitmen bersama dalam bersikap dan menangani permasalah anak. Mengedukasi anak bukanlah tentang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mengedukasi anak adalah tentang membangun mental, wawasan, dan kemandirian.
Memang sangat disayangkan apabila ayah bersikap kontra produktif atas sikap bunda. Begitu pula sebaliknya. Membangun ruang persembunyian yang merusak komitmen itu. Sehingga ketika anak mendapatkan teguran dan pendadaran yang tidak disukai maka ia akan lari ke zona aman yang dibangun oleh ayah dan bundanya.
Ayah bertanya, Anak menjawab
Sebagai orangtua kita tidak perlu bosan menjawab pertanyaan anak. Sebagai orangtua kita tidak perlu enggan bertanya kepada anak.
Kita bisa mengambil contoh perilaku anak umur 3 tahun. Umumnya anak seumurannya sedang mengalami fase internalisasi. Ia menyerap informasi dan menggali pengetahuan tentang apa saja di sekitarnya. Simaklah pertanyaan-pertanyaannya. Ia selalu menanyakan “Apa …?” atau “Kenapa …?”.
Sayang kita dapati banyak orangtua yang kurang telaten dan kehilangan kesabaran atas perilaku anak yang melulu bertanya seperti itu. Padahal, saat itulah momentum terbaik untuk membangun konsep-konsep dan nilai-nilai. Sembari menjawab pertanyaanya kita dapat menjelaskan kegunaannya atau cara merawatnya.
Sebagai contoh seorang ayah yang tengah memasang boaster (penguat sinyal) antena yang baru dibelinya. Anaknya memperhatikan dengan penuh keheranan dan penasaran. Si anak lantas mengambil boaster itu. Si ayah bisa saja mencegahnya dan menyuruhnya supaya meletakkan boaster itu. Kekhawatirannya bersumber dari aliran listrik yang dapat menyertrum anaknya. Tetapi, si ayah juga bisa bersikap lain. Alih-alih ia melarang anaknya, si ayah justru menjelaskan kegunaan boaster itu, cara merawatnya, sekaligus memperingatkan supaya berhati-hati agar tidak tersetrum.
Tidak hanya menjawab pertanyaan, ayah bunda pun sebaiknya terbiasa memberikan berbagai pertanyaan. Tentang nama benda, kegunaannya, cara pemakaiannya, dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ringan itu akan berdampak pada sesuatu yang besar. Misalnya tentang celengan. Diskusi-diskusi ringan tentang kegiatan kecil menyisihkan uang koin sampai apa yang bisa dilakukan ketika celengan itu sudah penuh. Seharusnya, aktifitas seperti ini bisa menjadi aktifitas yang menyenangkan antara anak dengan orangtua.
Sebagai orangtua pastilah kita melakukan hal demikian. Tetapi dengan memahami tujuan dari pertanyaan-pertanyaan itu mungkin akan menumbuhkan ketelatenan dan kesabaran. Yang perlu diingat pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk mengorek kebenaran. Bukan introgasi. Jadi, apapun jawaban anak kita apresiasi sedemikian rupa. Fungsi pertanyaan-pertanyan itu untuk menstimulus daya ingat anak, imajinasi, dan ekspresi verbal anak. Ayah bunda menjadikannya sebagai momentum untuk membuat ikatan dan membangun kepercayaan diri.
Gemar mendongeng
Membacakan dongeng adalah salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menumbuhkan minat baca anak. Ayah bunda suka membacakan dongeng untuk anak, bukan? Kalau belum, mulailah dari sekarang. Kita bisa bercerita tentang kisah apa saja, baik dari buku atau yang dikarang sendiri. Apalagi kalau dongeng-dongeng itu dibacakan untuk anak yang belum mengenal calistung.
Yang saya singgung adalah anak batita. Mereka belum mengengal calistung tetapi rasa ingin tahunya sedang tumbuh luar biasa. Ayah bunda bisa menggunakan buku khusus batita, buku cerita yang didominasi gambar dan hanya ada satu atau kalimat saja tiap lembarnya. Ayah bunda yang bercerita. Mengisahkan sesuatu mengikuti gambar dan plot buku itu. Melalui cerita-cerita itu ayah bunda mengenalkan nama benda dan kata.
Memang tidak semudah yang dikatakan. Di antara tantangannya adalah mood anak. Barangkali baru dibacakan satu atau dua lembar ia sudah bergeming. Berpindah ke aktifitas lain. Kita bisa memulai dengan membacakan cerita yang singkat dan ringan saja. Daripada dirundung bosan lalu kapok. Tidak perlu dipatok dengan tema atau bacaan tertentu. Hari ini tentang fauna, esok tentang flora. Hari ini tentang mesin, esok tentang gedung dan pegunungan, lalu tentang binatang laut maupun darat, atau tumbuh dan sayuran, dan masih banyak lagi. Dengan begitu perbendaharaan katanya bertambah.
Selain itu, ayah bunda juga dihadapkan pada tantang untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang absurd. Mereka bertanya dengan polos dan kepolosan mereka membuat kita tersipu malu dan geram. Saya pernah mengalami kondisi seperti itu. Atas saran isteri saya menjelaskannya dengan jujur dan konkrit. Sebab, sekali anak-anak mendapatkan definisi dan makna kata yang salah, makna itulah yang akan melekat di benaknya.
Di era digital seperti sekarang ini kita tidak kesusahan mencari referensi dongeng. #sahabatkeluarga Kemendibud sudah mempersiapkan puluhan dongeng yang dapat kita akses secara gratis. Silahkan mampir ke laman #sahabatkeluarga.
Kurikulum Ala-ala Home Schooling
Menggunakan istilah kurikulum menjadikan semangat edukasi di keluarga jadi terkesan formal. Padahal yang ingin saya sampaikan adalah terkait pentingnya merencanakan edukasi tersebut. Seperti mempersiapkan bahan bacaan, mainan, aktifitas, dan lainnya. Masing-masing disesuaikan dengan perkembangan dan umur buah hati.
Rujukan bacaan lainnya yang dapat kita akses untuk merencanakan kegiatan edukasi buah hati adalah dengan mengunjungi laman Sahabat Keluarga. Di sana tersaji berbagai informasi yang sangat berguna bagi kita sebagai orangtua. Ambillah contoh pada laman buku yang memuat index buku-buku digital keren. Sayang sekali kalau ketersediaan itu tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Sebagai penghujung, saya menabur harapan. Melalui semangat membangun literasi sejak usia dini kita dapat membangun kesadaran dan kecerdasan digital—sebuah disiplin baru untuk membangun kemanusiaan supaya tidak terus-terusan tergerus. Salam Literasi.