Sally. Pertama kali saya melihatnya ketika tanpa sengaja kami masuk dalam satu eskalator dan menekan tombol lantai yang sama. Seperti dalam film-film drama. Momen itu ternyata membangkitkan bulu-bulu cinta. Sampai akhirnya kuputuskan bahwa saya akan mengundangnya untuk menapaki satu langkah berikutnya yang lebih serius. Tentu setelah kami sering berkomunikasi pada hari-hari berikutnya.

Justru teman saya yang sedikit meragukan apa yang kuputusan. Dia membicarakan siapa saya dan siapa dia. Lalu di ujung kalimat, ia menutup dengan ucapan yang kerap kali kudengar. Kalian mirip enggak? Biasanya kalo jodoh selalu saja ada kemiripan.

Sebelum tidur, kukeluarkan fotonya lalu kuletakkan di atas meja. Kusandingkan dengan fotoku yang dicetak dua tahun yang lalu untuk persyaratan membuat KTP. Kusimpulkan senyum.

Jelas kami mirip. Dia semampai, saya tidak pendek. Dia pintar, saya tidak bodoh. Dia baik, saya tidak jahat. Dia putih, saya tidak hitam. Dia kaya, saya tidak miskin. Dia rajin, saya tidak malas. Satu-satunya yang membedakan adalah dia cantik, saya ganteng.

Dan terjadi sebuah pernikahan. Kami menjelma menjadi raja dan ratu. Meskipun dalam bahagia, kuteteaskan air mata haru. Untung saja air mataku sempat kuusap sebelum sampai ke bibir. Kalau tidak, pasti lidahku akan mengecap-ecap asin. Rupanya, ia pun demikian. Kulihat beberapa kali ia menyeka air mata. Dan kusadari satu hal. Ternyata ia tampak anggun sekali sakali dalam keharuan.

Bahagia telah menghilangkan rasa letih. Mengantarkan kami melalui semua tetek bengek ini. Sampai akhirnya kami berada di kamar yang sudah diperuntukkan bagi kami berdua.

Dari dalam kamar mandi, Sally keluar dengan piyama cokelat muda yang menggoda. Harumnya benar-benar menyegarkan. Dari meja rias ia menatapku yang meluai merasakan letih di ujung ranjang. Mata lentiknya menjarahku, lalu menarikku untuk mendekapnya. Sialnya, sebuah biji manik-manik yang tergeletak di lantai membuatku terpelanting. Kepalaku terbentur meja.

Seluruh badan terasa tidak enak. Telingaku tidak menangkap suara apapun. Saya pun mencoba bangkit. Sambil mengais kesadaran, kulihat seluruh kamar tersedot kedalam lubang hitam yang tak kumengerti. Pernak-pernik kamar pengantin, kasur, meja, kursi, lemari, semuanya memutar seperti pusaran air dan masuk ke dalam lubang kecil tepat di hadapanku. Lalu Sally pun ikut tersedot dan akhirnya diriku sendiri. Justru ketika semuanya telah selesai tersedot, kukembali dalam kesadaranku. Kulihat Sally dan diriku sendiri terpenjara dalam kertas lux yang tadi kujejerkan sebelum tertidur.