Hitam semakin menelan serat-serta senja. Gugusan bintang tak lagi terang karena kalah oleh terang lampu jalanan. Sedangkan angin musim panas berhembus mengeringkan air.

Nur duduk bersandar, mengusap-usap perutnya yang mengembang. Matanya memperhatikan setiap tamu yang datang. Pandangannya agak samar karena lampu penerang memang tidak benar-benar terang dan anyaman penjalin yang menabiri antara dirinya dan para tamu cukup rapat.



Ruri duduk di sudut dekat Nur. Ia tak menyadari kalau di balik tabir penjalin itu keponakannya mengawasi wajahnya. Ia mengenakan kopiah putih yang semakin menambah kewibawaannya. Sesekali ia tertawa kecil, tentu saja bukan kepada Nur tapi kepada Din yang duduk memunggungi Nur.

Nur tiba-tiba tenggelam dalam lamunan. Bahagia yang sempat menyisir hatinya terusik oleh rasa pilu dan nelangsa. Ia seharusnya bahagia karena tiga puluhan sanak familinya saat ini sedang berkumpul di rumah hanya untuk Nur, juga untuk jabang bayi yang ada di dalam kandungannya. Ingatan pada suaminyalah yang membuatnya murung.

Sebulan yang lalu Jun pamit untuk mencari rejeki tambahan karena menurut perhitungannya uang tabungan yang sekarang ada takkan cukup untuk biaya persalinan. Ia pergi ke sebuah pulau terpencil di Pesisir Barat bersama tiga lainnya. Entah angin apa yang membaca mereka pergi ke sana. Nur sudah berusaha melarangnya. Tak perlu jauh-jauh ke sana untuk mencari tambahan biaya.

 

“Kau tahu Nur, mengejar mimpi terkadang harus menelan malu. Tetapi Abang akan lebih malu lagi kalau untuk kenduri kelahiran anak kita nanti Abang harus berhutang sana sini.”

“Apa yang sebenarnya Abang cari di Pesisir Barat?”

“Anugerah alam, Nur. Kalau Abang beruntung tak hanya kenduri yang bisa Abang tunaikan nanti, tapi juga rumah. Ya, rumah untuk kita dan anak kita.”

Nur menatap mata suaminya tajam-tajam mencari jawaban atas kegigihannya untuk pergi.

“Nur, orang-orang hanya mengenal Pesisir Barat dari damar, lada, dan cengkehnya. Padahal ada yang tersembunyi di balik itu semua. Abang hanya akan mengambil segenggam saja. Satu atau dua minggu abang pasti kembali.”

Nyatanya, bukan satu atau dua minggu, tapi sudah lebih satu bulan suaminya mengingkari janji. Sampai usia kandungannya semakin mengembang di bulan ketujuh. Sampai kenduri kecil sebagai rasa syukur dan doa ini ditunaikan tanpa kehadiran suaminya.

Nur bukanlah wanita yang lemah. Guncangan berat seperti ini ia hadapi dengan tabah. Ia melihat kedua teman suaminya kembali meskipun dengan tekanan mental yang sampai sekarang belum bisa dimengerti sedangkan yang satunya kembali tanpa nyawa dan juga tangan kirinya. Nur sudah kehabisan air mata tapi tidak pertanyaan-pertanyaan di kepalanya mengapa hanya suaminya yang lenyap tanpa kabar berita.



Lamunan Nur buyar ketika ia mendengar bacaan fatihah yang tersentak dibaca serentak. Surat pembuka kita suci itu dibaca berulang kali sebagai pembuka tahlil. Nur tersenyum. Tangan mengusap-usap perutnya.

“Yang mimpin tahlil itu adalah kakekmu, sayang. Kelak kalau kamu sudah lahir kamu harus belajar banyak dari kakek.”

Setelah itu, ia mengenalkan satu persatu. Tentang Ruri, lalu yang duduk di sampingnya, lalu sampingnya, lalu sampingnya, hingga ke barisan orang-orang yang tidak membaca tahlil. Mereka membaca salah satu surat Alquran yang dibagi menjadi enam bagian. Nur kembali merasakan pilu. Seandainya di antara mereka duduk pula suaminya.

Sampai-sampai di pagi hari, setelah shalat subuh, ia masih meringsek di atas kasur, antara miring dan merebah. Perutnya diganjal bantal. Tubuhnya pun masih berbalut mukenah putih. Tidak seperti biasanya, kali ini Nur tak mampu menahan kantuknya usai shalat subuh.

Hingga akhirnya ia terbangun oleh suara pintu kamarnya yang digedor-gedor diikuti oleh namanya yang dipanggil-panggil sambil mengabarkan warta.

“Nur, keluar! Nur! Suamimu, Nur, suamimu!”

Nur tersentak. Bangun. Mulutnya memanggil nama ‘mas’ untuk meyakinkan dirinya. Tentu saja tak ada jawaban apa-apa. Justru pintu kamarnya kembali digedor-gedor.

“Cepet Nur, keluar!”

Seorang lelaki tergeletak berselimut kain yang baru diambil dari lemari. Sayangnya, selimut itu tak mampu menyelimuti kekusutan paras laki-laki itu. Rambutnya gondrong dan berantankan. Begitu pula kumis dan jambangnya. Pastilah sudah berminggu-minggu tidak dipotong dan juga disisir.

Tapi Nur tak mungkin lupa dengan suaminya sendiri meskipun kulit suaminya kini kusam terbakar. Ada luka lebam di punggung dan lengannya. Juga codet di pelipis dan pipinya. Rasa bahagianya bercampur aduk dengan rasa penasaran bagaimana suaminya bisa mendapatkan luka-luka itu.

Nur tak bisa mendapatkan jawaban apa-apa karena orang yang mengantarkan suaminya sudah berlalu sejak tadi. Ia tinggal menunggu suaminya siuman.

Tarmadi yang mendengar kepulangan suami Nur juga tak lebih tenang dari Nur sendiri. Mondar-mandirnya lebih cepat dari semua yang ada di sana. Sebenarnya, Nur dan juga lainnya, merasakan kerisihan yang tertahan atas sikap Tarmadi itu. Lagi pula, untuk apa Tarmadi segelisah itu.

Benar saja, ketika Jun perlahan membuka kedua matanya Tarmadi sudah duduk paling dekat. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Jun. Kencang pula.

“Bagaimana kamu bisa pulang? Bagaimana kamu tidak kehilangan tangan?” Tak seorang pun yang mengerti pertanyaan Tarmadi. Nur merasa kalau Tarmadi menyembunyikan sesuatu, Tarmadi mengetahui perihal ganjil yang menimpa suaminya.

Tapi Jun tidak benar-benar siuman. Matanya terbuka tapi tidak memandang apa-apa. Kesadarannya masih terjebak di bawah sana hingga hentakan tangan Tarmadi tidak dirasainya sama sekali.

Kalau bukan Nur yang membentak mungkin Tarmadi akan tetap mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Maka, ketika Tarmadi akhirnya pergi Nur menggantikan tempatnya dan menggenggam erat tangan suaminya. Tangannya dingin tak ada reaksi membalas genggaman istrinya itu. Nur memanggil suami dengan lembut.

Semua saling pandang. Masing-masing mencari jawaban. Adik Nur yang sedari tadi pergi ke mantri terdekat belum juga kembali. Mungkin karena ini masih terlalu pagi. Pak dokter belum bangun. Meskipun begitu, tak ada yang bergeming. Nur mengelap tubuh suaminya dengan kain basah. Ia membersihkan kaki suaminya yang bengkak dan pecah di bagian tumit—luka yang lumrah didapat orang yang berjalan jauh tanpa alas kaki.

Kepulangan Jun tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyebar di desa. Tak sedikit yang mengucapkan syukur tak sedikit pula yang membubuhi kepulangannya dengan keganjilan yang kasat mata lalu dikait-kaitkan dengan Slamet dan Amat yang telah hilang kewarasannya. Tak hanya satu dua orang yang mengira-ngira kalau Jun akan bernasib sama dengan kedua temannya atau menyusul Muhib lebih dulu ke alam baka.

Waktu itu, Nur dipamiti Jun untuk pergi sekitar seminggu. Ia pergi bersama ketiga temannya. Slamet dan Muhib tak sulit mendapatkan izin untuk meninggalkan desa karena hanya orangtuanya saja yang mereka punya. Sebenarnya Muhib tidak diizinkan oleh istrinya untuk pergi. Begitu pula dengan Nur yang tak mengizinkan Jun. Tetapi tetap saja, mereka berempat pada akhirnya pergi berkelana.

Tempat tujuan mereka jelas—ke sebuah pantai terpencil di Pesisir Barat. Ada barang berharga di pulau itu. Bukan cengkeh atau kayu damar. Setelah dihitung-hitung, mereka hanya membutuhkan waktu satu minggu saja.

Tapi belum satu minggu Slamet, Muhib dan Amat pulang lebih dulu. Tak seorang pun yang bahagia dengan kepulangan mereka bertiga. Slamet dan Amat mengalami depresi kejiwaan yang mengerikan. Hingga keluarga mereka harus menjauhkannya dari orang-orang desa yang ingin menjenguk. Sedangkan Muhib tak terselamatkan lagi jiwanya dan lebih mengerikan lagi, tangan kanannya terputus sebatas lengan.

Ketika kasak-kusuk itu sampai ke telinga Nur, ia mencari Tarmadi.

“Apa yang kamu ketahui, Madi?”

“Saya tidak tahu apa-apa. Justru saya sedang mencari tahu sesuatu.”

“Tentang suami saya?”

“Tentang kekuatan di belakang suamimu yang membuatnya bisa kembali dalam keadaan utuh.”

Nur tak menyangka ada mendapatkan jawaban yang menohok seperti itu. Jadi, seharusnya suamiku sudah mati atau bernasib sama dengan Slamet dan Amat, batin Nur.

“Lalu?”

“Kita hanya bisa menunggu, Nur, juga berdoa. Suamimu sedang berjuang untuk kembali pada kesadarannya. Jangan biarkan dia bernasib sama dengan kedua temannya.”

“Kalau begitu, segera kita bawa ke …”

“Ke dokter?! Dokter takkan mampu berbuat apa-apa.”Tarmadi menarik nafas panjang. Ada mengganjal di dadanya. Ia melihat ke arah Nur yang membopong perutnya yang membesar. Ia pun tak ingin anak yang terlahir kelak langsung menjadi yatim. “Nur.”

“Ya.”

“Sepulang dari sini, lihatlah tangan kanan suamimu apakah dia masih menggenggamkan tangan atau tidak. Dia tidak menggenggam apa-apa. Tapi sebenarnya dia sedang menggenggam sesuatu.”

Lalu diceritakanlah tentang cupu-cupu yang konon hanya ada di sebuah pulau di seberang Pesisir Barat. Banyak yang mencarinya. Iming-imingnya pun tidak sedikit. Dari semua yang pernah ke sana, belum ada yang kembali dalam keadaan waras. Hingga suatu hari, cerita tentang cupu-cupu itu sampai di desa ini dan ketika ronda malam berlangsung, Jun dan teman-temannya ingin pergi ke Pesisir Barat. Tarmadi sudah berupaya melarangnya mereka tapi tak membuahkan hasil sama sekali.

Keberadaan cupu-cupu itu belum pernah dipastikan sekali pun tapi tentang orang-orang yang hilang di pulau itu tak seorang pun yang meragukannya.

Mereka yang mati atau terpaksa harus dipasung di rumah memiliki tanda-tanda yang sama. Mereka menggenggamkan tangan kirinya. Ketika genggamannya berhasil dibuka paksa tak ada apa-apa dibalik jari-jari mereka.

“Benarkah tidak ada yang selamat?”

“Bukan tidak ada yang selamat yang ditanyakan tapi bagaimana “cara menyalamatkannya?”Tarmadi mengoreksi pertanyaan Nur, “Kalau demikian, inilah cara satu-satunya.”

Tarmadi menunjukkan tangan kirinya yang telah putus.

Untuk kedua kalinya, rumah Nur dipenuhi orang-orang. Kali ini yang datang lebih banyak dari sebelumnya. Bacaan fatihah bergemuruh di ruang depan dan dilanjutkan dengan bacaan tahlil. Di kamar Nur menggenggam tangan kanan suaminya. Begitu juga tangan Jun tapi tidak membalas genggaman tangan Nur. Ia menggenggam kealpaan yang tak dipahami orang-orang. Sementara itu, Ruri yang tak ikut jamaah di depan, duduk di dekat sumur sambil mengasah parang. []