Suryani tenggelam dalam kecemasan di depan pintu kantor polisi. Ingin sekali ia masuk, tetapi sangsi. Ia lihat bayangan Saprudin terpantul di cermin. Tampak juga dua polisi yang lebih gagah menginterogasi Saprudin. Yang satu bertanya-tanya dan satunya lagi mengetik.
Sekali lagi Suryani ingin masuk meskipun langkahnya begitu berat.

“Kalau rencana ini gagal, biar saya yang ditangkap.” ingatan Suryani pada ucapan Saprudin membuat langkahnya semakin berat, “Harus ada yang di luar. Dan itu bukan saya.”

Suara tarhim menjelang subuh bersaing dengan Suryani yang bersitegang dengan suaminya. Mereka sepakat untuk meletakkan bayinya di teras seorang saudagar kaya. Tapi tentang siapa yang akan dipenjara, mereka belum menemukan titik temu.

“Kenapa saya, Mas?” Bagi Suryani keputusan itu tidak adil. Di luar sana ia akan berhadapan dengan Bram. Sendirian.

“Sur, penjara bukan kehidupan. Kamu harus di luar. Kamu bisa pulang ke rumah paman.”

Badan Suryani lemas tak berdaya membayangkan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ia tidak mungkin memutar waktu kembali ke hari mereka mendatangi rumah rentenir bernama Bram itu.

Bram tahu betul maksud kedatangan mereka. Lesu, tidak bergairah, dan tanpa harapan. Begitulah ia menilai siapapun yang datang ke rumahnya.

“Tidak hanya sekali saya dikecawakan pengutang yang ujung-ujungnya merepotkan. Kalau sudah begitu saya bisa lakukan apa saja untuk mengembalikan uang saya.” Bram menatap wajah mereka berdua. “Saya juga bisa meminta tebusan apa saja sebagai penggantinya.” Bram mengalihkan sorot mata kejinya ke perut Suryani yang membuncit.

Suryani merasa jijik dipelototi seperti itu. Ia rapikan bajunya, bergeser sedikit ke arah suaminya. Ia merasa begitu terhina tanpa bisa sedikitpun melawan. Ingin rasanya pergi saja dan mencari cara lain. Lantas ia berbisik pada suaminya tetapi Saprudin menahan. Semuanya sudah sangat kepalang tanggung.

“Bagaimana, Saprudin? Siap dengan konsekuensinya?”

Saprudin menarik napas dalam-dalam, membuangnya penuh kegetiran lalu menjawab pelan, “Ya.”

*** ***

Rumah kontrakan Saprudin pernah digedor-gedor beberapa kali. Seringnya mereka bertato dan berkaca mata hitam.

“Beri tenggat waktu lagi, Pak. Isteriku baru melahirkan.”

“Mau sampai kapan!” Meja pun ia gebrak hingga hampir saja menjatuhkan gelas, “Baiklah. Saya kasih waktu seminggu lagi. Ingat pesan Om Bram. Dia bisa minta tebusan apa saja!”

Lalu laki-laki itu menatap bayi yang digendong Suryani. Ia mengisyaratkan sesuatu. Suryani merasa ngeri lalu mendekap erat anaknya. Jantung anak dan ibu itu beradu dentuman sangat kencang. Suryani sangat ketakutan.

Kepulangan debt collector itu memberi pukulan telak dan selangkah lagi Suryani akan kehilangan anaknya. Ia menyadari kekalahannya itu. Ia iba pada dirinya sendiri, juga pada suaminya. Tidak ada keluarga yang mau membantu. Semuanya benar-benar angkat tangan. Kondisi itu mendesak mereka untuk bertindak sesuatu.

Suryani jelas menolak menyerahkan buah hatinya kepada rentenir tengik itu. Maka semalaman mereka mengatur rencana. Kalut, gelisah, dan takut menyergap rasa kantuk dari mata mereka. Sisa tenaga yang ada digunakan untuk beres-beres, menyiapkan bekal secukupnya, dan pergi menyusuri subuh yang tak lama lagi menjelang.

Hingga mereka sampai di tujuan, sebuah gardu ronda yang tak jauh dari rumah si saudagar kaya. Saprudin melihat sekitar. Sepi. Ia kembali mengingatkan kemungkinan paling fatal yang terjadi. Setenang mungkin ia berjalan ke rumah seorang saudagar kaya diiringi suara tarhim yang terdengar dari masjid. Sementara isterinya menunggu di gardu ronda. Masker yang ia kenakan cukup menyamarkan pandangan orang lain saat melihatnya. Ia meletakkan bayi yang belum genap seminggu itu di teras rumah saudagar kaya.

Naas, seseorang memergoki dan meneriaki maling.

Saprudin tunggang langgang. Ia lari membelok ke gang. Beberapa orang mengejar. Sial, ia berhasil ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.

*** ***

Setidaknya Suryani bisa sampai ke ruang tamu. Ia duduk di kursi yang tidak ditandai silang. Sesekali ia melirik ke dalam dan terlihat suaminya membungkuk ditanyai polisi. Kemudian seseorang berseragam datang, menurunkan maskernya dan berbisik. Kedua polisi itu lantas saling mengangguk lalu memberi perintah.

Mata Suryani mengikuti polisi itu keluar kantor yang lenyap di balik pintu. Ia tidak peduli lalu matanya kembali ke arah suaminya. Sesekali mata polisi yang menginterogasi menangkap Suryani. Ia langsung memalingkan wajah, sesekali ia melihat punggung suaminya.

Polisi itu menganggkat telepon. Sangat sebentar lalu menutupnya. Tak lama setelah itu beberapa orang datang bersama polisi berseragam yang tadi keluar. Suryani tercengang, mematung, tak bergeming sedikit pun. Sekujur tubuhnya lunglai, melorot habis tak berdaya. Hal yang sama dialami Saprudin. Ia merasakan dirinya hancur.

“Lapor, Dan. Ini Pak Bramantio.”

“Panggil saya Bram saja.” ia tersenyum menang lalu melirik Saprudin.**